English Premier League akan dimulai akhir pekan ini. Fans sepakbola ditengarai akan kembali ramai berkicau setelah sekitar 2 bulan lebih berhibernasi. Saling sindir, saling hina, twit war menjadi ritual mingguan fans sepakbola yang kebetulan aktif di twitter. Persaingan sengit tidak hanya dirasakan tim-tim klub sepakbola tapi juga antar pendukung. Baik yang di Inggris sana maupun fans klub Inggris yang tinggal ribuan mil dari klub kesayangannya. English Premier League (EPL) sudah bukan milik warga Inggris semata. Pemain asing, pelatih asing dan sekarang fans asing merasa, dan secara aktual memang telah menjadi bagian dari EPL.
Bagi yang mengikuti twit-twit saya di twitter, mungkin sudah tahu kalau “I’m a Gooner” (sebutan untuk fans Arsenal, the greatest club the world has ever seen). Sebagai seorang Gooner, otomatis twit-twit tentang sepakbolanya tak jauh-jauh dari membanggakan Arsenal dan pemain-pemainnya. Memuja Wenger dan sepakbola menyerang cantiknya. Dan sesekali mencibir pencapaian tim lain yang walaupun sudah menghabiskan uang lebih banyak dari Arsenal, tetap tidak mampu berprestasi (Liverpool contohnya). Atau mencibir tim yang menjadi juara dengan membeli trofi. Apa yang dibanggakan dari klub yang memenangkan kompetisi dengan cara membayar jauh lebih banyak dari semua lawannya dan menjalankan klub dengan kondisi defisit keuangan setiap musimnya? Ini menjadi twit-twit wajib pendukung Arsenal. Walaupun tanpa trofi dalam 7 tahun terakhir ini, Arsenal bagi kami tetaplah “the greatest club the world has ever seen”. Hal ini tentunya tidak dapat dimengerti pendukung klub lainnya. Kami maklum.
Pendukung tim yang kebetulan juara di satu musim biasanya akan membangga-banggakan pencapaian timnya. Membanggakan trofinya sambil “memamerkan” ke pendukung tim lain yang sedang kering trofi, fans Arsenal misalnya. Trofi imajiner pun dipamerkan mereka sambil berujar “wah kasihan Arsenal udah 7 tahun tanpa trofi, ga pindah klub aja elo?” Pertanyaan bodoh seperti ini biasanya memancing reaksi stempel “glory hunter” terhadap mereka. “Glory hunter” menjadi istilah yang termasuk sering saya gunakan sebagai reaksi terhadap pendukung-pendukung tim juara yang sedang memamerkan prestasi timnya ke fans klub lain.
Glory hunter untuk fans sepakbola itu sesungguhnya adalah istilah yang ter-peyorasi, sudah mengalami pergeseran makna yang menjadi lebih jelek, lebih negatif. Lucunya, sebagian fans klub juara karena tidak memahami istilah glory hunter berusaha menggunakan label yang sama tersebut terhadap fans-fans klub lainnya. Reaksi yang umum lahir dari mereka: “kalo pemain ga glory hunter, mending ga usah main bola,” tanpa memahami perbedaan besar pemain glory hunter dan fans glory hunter. Atau begini: “elo dukung Arsenal karena dulu mereka juara juga kan?” yang menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak memahami istilah glory hunter tersebut. Mereka tidak mau mengakui adanya jalan spiritual lain dari seorang fans sepakbola yang mendukung sebuah tim, yang tidak selalu harus soal trofi. Maka istilah Glory Hunter pun mengalami “salah arah” di antara fans-fans sepakbola, bahkan mungkin sudah tersesat. Kini saatnya untuk meluruskannya, sebelum musim baru dimulai dan fans-fans sepakbola lebih jauh menyalahgunakan istilah ini. Saya berusaha mengemban tugas mulia untuk meluruskan istilah ini… *uhuk*
Glory Hunter diterjemahkan secara harafiah sebagai pemburu kejayaan. Kejayaan identik dengan trofi untuk sebuah kompetisi sepakbola. Maka Glory Hunter bisa juga disebut pemburu trofi. Ini makna dasarnya yang dapat kita sepakati. Nah sekarang apakah semua klub sepakbola mesti menjadi Glory Hunter? Tentu semuanya berambisi untuk menjadi juara, mendapatkan trofi. Namun dari 20 klub yang berlaga di EPL setiap musim, hanya ada satu yang bisa menjadi juara EPL. Dan sejak Premier League bergulir di pertengahan 90-an, hanya 5 klub yang pernah menjadi juara (MU, Blackburn Rovers, Arsenal, Chelsea dan Manchester City). Lima belas dan lebih klub lainnya (termasuk yang terdegradasi) hanya bisa berambisi tanpa pernah merealisasikan ambisinya. Ekspektasi pun diturunkan, masing-masing klub akan memiliki ekspektasi internal. Mulai dari asal bertahan di EPL, lebih baik posisinya di klasemen daripada musim sebelumnya, mengincar papan tengah, mengincar posisi 4 besar, sampai yang benar-benar mengincar trofi juara.
Demikian juga pemain sepakbola. Tentunya mereka semua bermain bola untuk menang, ingin menjadi juara. Namun pada realitanya masing-masing pemain bola memiliki ekspektasi internal yang berbeda-beda sesuai kemampuan dan tempat bermainnya. Ada yang asal dapat kontrak yang lebih baik daripada sebelumnya, ada yang asal bisa bermain di EPL, ada yang ingin masuk timnas, dan tentu ada yang ingin menjadi juara. Mereka semuanya glory hunter, tapi glory di sini tidak selalu identik dengan trofi. Glory bisa juga berupa pemujaan dari fans karena mereka adalah pemain terbaik di klubnya, walaupun klubnya konsisten pengisi papan bawah klasemen. Glory bisa juga berarti kontrak baru yang mencapai nilai jutaan poundsterling per tahun, yang menempatkan mereka sebagai salah satu orang terkaya di daerahnya. Dalam setiap pertandingan tentu semua pemain ingin menang. Namun kekalahan bukanlah akhir kehidupan. Menang dan kalah tidak ditentukan sendiri, ada 22 pemain sepakbola di lapangan dan kontak antara 22 pemain tersebut dengan 1 bola itu yang menentukan hasil pertandingan.
Nah bagaimana dengan fans sepakbola? Fans sepakbola, walaupun sering disebut sebagai pemain ke-12 dalam satu pertandingan pada nyatanya sangat minim kontribusinya dalam hasil akhir sebuah pertandingan. Fans sepakbola bisa berteriak sampai suaranya habis dan timnya tetap kalah. Fans sepakbola tidak ikut bertanding, pada nyatanya ia hanya menonton pertandingan. Ia mendukung agar pemain-pemain klubnya bisa extra semangatnya. Namun apabila kemampuannya memang di bawah kemampuan lawan yang kondisinya prima, kekalahan tidak terelakkan. Fans sepakbola tidak memiliki keterlibatan aktif dalam menentukan hasil akhir pertandingan. Seorang wasit bahkan lebih “aktif” daripada fans sepakbola dalam hal ini (terutama wasit di liga yang diatur hasilnya), walaupun ia cukup meniup peluitnya tanpa harus berteriak.
Fans sepakbola tentu ingin klubnya mencapai hasil maksimal, yaitu juara. Namun ekspektasi fans juga berbeda-beda. Fans Blackburn yang pernah juara EPL misalnya, sekarang hanya akan berharap klubnya bisa sesegera mungkin promosi ke EPL. Fans Wigan akan berharap klubnya tidak terdegradasi tahun depan. Fans Liverpool yang mendominasi Liga Inggris tahun 80-an sekarang hanya berharap klubnya bisa masuk 4 besar. Fans City tentu berharap akan tetap jadi juara setelah 44 tahun lebih tidak pernah juara.
Ekspektasi yang berbeda-beda ini terjadi karena fans sepakbola yang waras bisa menyatukan keinginan dengan realita. Dan untuk fans sepakbola yang waras ini, mereka akan terus mendukung timnya, walaupun tidak menjadi juara. Fans sepakbola yang waras memahami bahwa bisa tidaknya timnya menjadi juara tergantung pada kualitas dan kinerja manajer dan pemain sepakbola dan dibandingkan dengan tim lawan. Fans hanya bisa mendukung secara finansial (beli merchandise, tiket pertandingan) dan secara moral (teriakan di lapangan, doa buat yang nonton di tv). Fans juga bisa menuntut untuk mengganti pelatih yang tidak berhasil, atau menjual pemain yang jelek atau membeli pemain yang bagus. Walaupun keputusan final tetap ada di tangan manajemen klub.
Fans sepakbola yang waras ekspektasinya tidak melulu soal trofi juara, mereka melihat kondisi tim dari tahun ke tahun. Fans sepakbola yang waras ini bukan Glory Hunter. Maka jangan heran masih ada yang menjadi fans Liverpool walaupun sudah 20 tahun lebih tidak pernah juara liga Inggris misalnya.
Lalu fans seperti apa yang kita sebut Glory Hunter itu?
Karena fans sepakbola tidak punya keterlibatan aktif dalam menentukan hasil pertandingan, maka menjadi lucu sebenarnya kalau fans sepakbola punya ambisi menjadi juara sebagaimana pemain sepakbola, pelatih, ataupun klub bola itu sendiri. Yang menjadi juara dan mendapatkan medali adalah pemain sepakbola dan pelatihnya. Klub bola menyimpan trofi juaranya dan fans sepakbola hanya bisa ikut merasakan kebanggaan tersebut. Glory bagi fans bersifat imajiner, adalah ekstensi dari khayalan relasi fans-klub sepakbola. Glory itu bisa untuk fans karena mereka bisa ikut menikmati, tapi bukan dari fans karena bukan mereka yang berjuang untuk mendapatkannya. Fans memang dibutuhkan agar klub sepakbola tetap bisa berjalan, namun glory yang didapatkan klub sepakbola bukanlah hasil perjuangan fans sepakbola. Di sini menariknya.
Nah karena fans sepakbola tidak bisa mengupayakan glory tapi bisa menikmati glory, maka glory hunter adalah fans sepakbola yang berupaya untuk terus dapat menikmati glory setiap musimnya. Bagaimana caranya? Tidak lain adalah dengan cara berpindah klub yang didukung setiap musimnya. Dukung klub yang pada musim ini kira-kira kans juaranya paling besar dan bisa memberikan glory untuk fans. Jadi fans glory hunter ini bisa berganti klub setiap musim. Konyol bukan? Namun fans seperti ini benar-benar ada. Musim kemarin dukung United, musim ini dukung City karena Man City disinyalir lebih berpeluang juara. Dulu dukung Barca, sekarang dukung Madrid. Fans seperti inilah yang disebut glory hunter.
Salah Arah Glory Hunter sering dialami fans Manchester United. Mungkin karena dulunya mereka mendukung MU karena sering juara, dan mungkin juga karena lagu kebangsaannya berjudul “Glory Glory Man United”, fans-fans MU ini paling sensitif kalau saya sedang bicara soal glory hunter. Mereka merasa dicap sebagai glory hunter, padahal tidak perlu begitu kalau mereka adalah fans sejati MU yang tidak akan pindah ke klub lain walaupun sedang minim prestasi. Namun kelakuan sebagian fans MU yang sangat memuja trofi dan sering menyindir fans klub lain yang lebih minim trofinya mungkin secara perlahan bisa mengubah mereka menjadi glory hunter sejati. Apa yang terjadi misalnya bila MU 5 tahun tidak menjadi juara? Apakah sebagian fans mereka akan berpindah, menyebrang ke tetangga, Man City misalnya? Mungkin iya. Maka untuk yang tidak tahan mendukung tim tanpa glory, merekalah calon glory hunter sejati.
Glory hunter yang berpindah-pindah klub hanya demi menikmati kejayaan imajiner itu hidupnya pasti menyedihkan. Ia mungkin bisa berdalih ia adalah seorang pemenang dalam kehidupan. Dan berargumen pemenang hanya berasosiasi dengan pemenang. Dugaan saya ia mungkin jarang “menang” dalam kehidupan sejatinya sehingga mencari kejayaan imajiner dari mendukung sebuah klub sepakbola lewat menonton dan berteriak di depan televisi. Ia tidak dapat merasakan suka-dukanya mendukung sebuah klub sepakbola, tanpa trofi atau dengan trofi. Ia tidak dapat merasakan ikatan emosional fans dan klub bola yang terkadang bisa lebih kuat daripada pasangan suami-istri. Ia tidak dapat merasakan cinta terhadap klub bolanya, karena cinta tidak selalu soal kemenangan. Justru di saat-saat tersulitlah cinta itu tumbuh dan diuji.
Nah setelah penjelasan panjang lebar di atas, silakan Anda simpulkan sendiri. Apakah Anda seorang Glory Hunter?
Leave a reply to benhan Cancel reply